Semakin hari dia semakin tua
Semakin dimamah usia
Dulu tubuh bak besi waja
Tapi kini ibarat kaca
Saat untuk bersama
... tidak mungkin selamanya
Seusia wajanya
Kita dibentuknya
Kita dicanainya
Kita diberusnya
Kita digasaknya
Berserta untaian airmata
Kasihnya...
Manjanya...
Rindunya...
Sepayahnya...
Seadanya...
Kini dia berusia kaca
Andainya...
Terhentak retak selamanya
Terhempas berderai selamanya...
Takkan bercantum seperti sedia kala...
erlantar sakit
Kita...
Hasil acuannya...
Sehabis baikkah bakti kita kepadanya
Sehebat diakah kita menjaga kebajikannya
Sehebat diakah kita menakluki hatinya
Sehebat diakahkita berkorban harta dan masa untuknya
Sehebat diakah kita
Atau kita menjadi sang perobek hatinya
Atau menjadikannya pembantu rumah kita
Atau menjadikannya tetamu yang tidak diundang dan tidak disenangi
Atau kita manjadi penggali telaga air matanya...
Atau pencuri waktu ibadahnya pada usia senjanya...
Kitakah itu...
Sang senja pasti berlabuh jua
Saatnya sahaja kita takkan terjangka
Waktu tersisa
Kita jadilah anak yang paling berbakti kepadanya
Demi kebahagiaan kita dan dia di Sana..
Saat menghadapNya...
20:26/21 Mac/Mersing/Surau Sri Lalang
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku tuliskan bait kata-kata ini saat mengenangkan ibu mertuaku yang terlantar sakit. Sajak ibu. Pada masa yang sama aku terkenangkan bagaimana sibuknya sang anak-anak dengan diari harian yang tersendiri. Meskipun beliau diziarahi, dilawati, dihantar untuk rawatan, namun aku terkenangkan bagaimana beliau menempuh hari-hari usia emasnya. Bagaimana perasaannya mengisi hari-hari tersisa tanpa suami tersayang yang telah lama pergi. Pengorbanannya dahulu adakah berbalas.